学際的なアプローチの重要性(Essay) Pentingnya pendekatan interdisipliner.

on

Bahasa Indonesia follows Japanese

次世代教育のための学際的研究

(インドネシア・教育文化省・高等教育局が発行する「新しい産学連携プラットフォーム」の設立記念のための書籍の原稿の一部。関連記事. 下記はインドネシア語から翻訳をしたものです。

電子材料の研究開発が速い

私は25年前から微粒子工学を研究してきました。 1998年から2006年まで、私は(日本人の)教授が広島大学の研究グループを運営するのを補佐しました。 この間、インドネシアからの博士課程の学生の入学ルーツを再開する機会が与えられました。 2001年から2006年は、ナノ粒子に関する国家プロジェクトに関与した10社の約15人のスタッフを含む40人以上の構成員で最も忙しい時期でした。 日本の経済産業省・NEDOが資金提供するこの国家プロジェクトは、電子材料(LED用など)に焦点を当てていました。

博士課程の学生が集中的に研究活動を行えるように、産業界からの奨学金制度を新たに設計しました。 日本の多くの企業は四半期制を採用しているため、連携(仕事)のスピードが比較的速くなりますが、学生の学習スタイルに影響を与えます。 私たちはしばしば、スケジュールを維持するためにマイクロマネジメントスタイルを使用します。 このスタイルの適用は、関係する学生の学習スタイルに影響を与え、失敗から学ぶ機会を減らします。

やる気を維持するために、研究グループの留学生とよく話し合います。 日本人でない彼らは時々自分たちの開発する技術の所有権について尋ねます。 私たちのグループのほとんどすべての研究結果(特許)は、20年間市場で人気のある(家電)製品になっている技術を含め、企業に属しています。

研究者としてのジレンマ

ミネラル鉱山サイトを訪れたとき、私は自分自身で鉱業活動による環境「被害」を見ることができました。 当時、電子機器の性能を向上させるために鉱山の生成物を使用する技術開発者としていの私には、ジレンマが生じました。 私は工学的な教育は生活の利便性を優先し、新しい競技を生むとき、何かが次世代に欠けていると感じています。

発展途上国は、多くの場合、先進国の技術開発によって実現した製品の市場にすぎません。インドネシア”人”として、私は常に先進国と発展途上国の協力を可能にする「適正技術」を開発したいと思っていました。 しかし、先端的な産業に関わる教員・研究者としての立場が快適であるため、この願いは実現しにくいもとなりました。

「スロー」な農業関連研究開発

2006年、私は日本で最初のバッチテニュアトラックプログラムの選択に合格しました。 私が現在働いている場所(TUAT)は、このプログラムを採用している日本の9つの大学の1つです。 このプログラムでは、准教授は完全な教授なしで研究グループを率いることができます。 これは当時は新しいことでした。

2007年の初めに、私は東京に引っ越して、エレクトロニクス業界とのすべてのプロジェクトへの参加をやめました。 その後、文部科学省・科研費・新学術領域研究「粒子状物質・植物・人間」プロジェクト(ASEPH、2008-2013)の立ち上げに、農学部の教員数名とともに参加しました。 このプロジェクトには、博士号を持つ約75人の研究者が参加しました。

粒子状物質(大気汚染のモデル)を植物の葉にさらす(曝露)システムの設計に関して、私はエンジニアとして最も困難な仕事をしました。 実験は22か月にわたって実施されました。 植物は10cmから200cmに成長します。 不均一な葉とエアコンからの循環空気は乱流を発生させ、物質移動の計算を複雑にします。

このプロジェクトでは、日本の植物に関するデータとタイやインドネシア等のデータとの比較研究が頻繁に行われました。 この経験から、工学分野(微粒子工学、移動現象論)は、日本と発展途上国の技術関係者をつなぐためのオープンでエレガントな媒体になり得ることに気づきました。

工学分野では、研究者が「主人公」として行動します。 彼らは、均一な生成物を得るために、制御された温度勾配を備えた層流を備えた反応器を設計することができます。 しかし、農学部と一緒に仕事をした後、このプロジェクトの主役は研究者ではなく植物であることに気づきました。

ASEPHプロジェクトは、設計前および実験中にリスク管理について教えてくれています。 多くの工学部の大学院生に学際の重要性について考えさせることができました。 学際的なアプローチによる学生の教育は、問題解決への意欲を劇的に高めることができます。 このコラボレーションにより、多くの新しいエンジニアリングのアイデアやヒントが生まれ、後に私の研究室の基礎となりました。

ビション

世界は現在、VUCA(揮発性、不確実性、複雑性、あいまいさ)の時代に直面しています。 技術革新を含むグローバリゼーションによる社会問題も、VUCAの引き金となる要因です。 次の世代は、エコシステムを予測することがますます困難になるでしょう。 複雑な状況で意思決定を行い、行動を起こす能力が必要になります。 「人的資源(HR)を準備するための教育はいつどこで行われるべきででしょうか?」。技術ベースの知識に関連するトレーニングするための最後の場であることが高等教育機関での卒業論文とされた場合、研究室・グループの管理における指導者の役割および学生がどのようなプロセスで知識を得ることは非常に重要です。

VUCAに適応できる人材を育成するためには、個人が失敗を経験し、失敗からの学習過程を実践できる環境を整える必要があります。 残念ながら、日本を含む一部の国では、定量的評価がより重要視されることがよくあります。 メンターまたは研究室の責任者は、学生の失敗から学習プロセスをたどることができないことが多く、おそらく、メンターは学生をマイクロマネジメントで短期的な成功に導くことも多くあるでしょう。学生は失敗を恐れ、指導者の指示に従って一生懸命働くことを好む傾向があります。 懸命な努力は重要ですが、学生が努力の見返りとして短期間の安定と安心(コンフォートゾーン)に満足している場合、この安定志向は「危機感」の感度を低下させる可能性があります。また、VUCAの長期的な影響を考えると、学際的な研究や組織(研究室など)内の多様性も重要です。多様性の一例としては、一定の割合の外国人スタッフまたは留学生を含めることによって達成できます。

ある報告書「リーダーシップ文化のマッピング」(エリン・メイヤー、2017年)では、「権威に対する態度」(階層から平等主義へ)と「意思決定への態度」(トップダウンからコンセンサスへ)を軸として場合、日本とドイツは「合意+階層」に分類される経営法の良い例です。 別の例として、中国とインドネシアは「トップダウン+階層」に分類されます。 米国と英国は「トップダウン+平等主義」に分類されます。 オランダとスウェーデンは「合意+平等主義」に分類されます。 上記の例は、特に大学等の高等教育機関では、考え方や文化的変数として「多様性」が必要であることを示しています。

グローバルな課題は常に複雑であるため、競争に過度の価値を置くと、世界は間違った方向に導かれます。 長期的な利益のための勝者は無意味になります。 お互いの歴史を理解し、気遣うことは、他の国々と協力するための鍵です。

(東京、Wuled Lenggoro、2020年9月30日) 

Pentingnya pendekatan interdisipliner.

Interdisciplinary Research for Next Generation Education. Artikel ini disiapkan untuk buku “Bunga Rampai Reka Cipta Indonesia” (Dikti Kemendikbud, 2020) Related article

Material elektronik yang “cepat”

Saya mendalami bidang teknologi partikel sejak 25 tahun lalu. Pada tahun 1998 sampai dengan 2006, saya membantu seorang profesor Jepang untuk mengelola grup riset di Universitas Hiroshima. Pada masa ini, saya diberi kesempatan untuk membuka kembali jalur penerimaan mahasiswa S3 dari Indonesia. Pada tahun 2001-2006, merupakan periode tersibuk dengan jumlah anggota grup lebih dari 40 orang, termasuk 15 staf dari 10 perusahaan yang terlibat dalam Nanotechnology Particle Project. Proyek nasional yang didanai oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang ini berfokus pada material elektronik (untuk LED, dsb).  

Kami merancang beasiswa dari industri supaya mahasiswa S3 bisa melakukan riset dengan terarah. Perusahaan di Jepang banyak yang menggunakan sistem triwulanan sehingga kecepatan bekerja menjadi relatif lebih cepat dan mempengaruhi gaya belajar mahasiswa. Kami sering memakai sistem micromanagement untuk menjaga jadwal. Penerapan sistem ini mempengaruhi gaya belajar mahasiswa yang bersangkutan dan mengurangi kesempatan mereka untuk belajar dari kegagalan.

Saya sering berdiskusi dengan mahasiswa asing di grup riset ini untuk menjaga motivasi mereka. Mereka yang bukan orang Jepang terkadang bertanya terkait kepemilikan teknologi. Hampir semua hasil penelitian dari grup kami menjadi milik industri, termasuk di antaranya adalah sebuah teknologi yang selama 20 tahun ini menjadi produk populer di pasaran (peralatan elektronik).

Dilema sebagai peneliti

Ketika berkunjung ke sebuah tambang mineral, saya dapat melihat sendiri kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Timbul sebuah dilema dalam diri saya yang saat itu berperan sebagai pengembang teknologi yang memanfaatkan hasil tambang tersebut untuk meningkatkan kinerja perangkat elektronik. Saya merasa akan ada sesuatu yang hilang di generasi mendatang ketika pendidikan teknik ditujukan untuk memprioritaskan kenyamanan hidup dan penciptaan kompetisi baru. 

Negara berkembang sering kali hanya menjadi pasar dari produk yang terwujud berkat perkembangan teknologi di negara maju. Sebagai seorang Indonesia, saya selalu memiliki keinginan untuk mengembangkan teknologi “tepat guna” yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara negara maju dan negara berkembang. Namun, dengan posisi yang nyaman sebagai dosen/peneliti yang banyak berasosiasi dengan industri maju, keinginan ini sulit terwujud.

Ilmu pertanian yang “lambat”

Di tahun 2006, saya lolos seleksi program tenure-track angkatan pertama di Jepang. Tempat saya bekerja sekarang (TUAT) menjadi satu dari 9 universitas di Jepang yang mengadopsi program ini. Dalam program ini, associate professor dapat memimpin sebuah grup riset tanpa full professor. Hal ini merupakan suatu hal baru pada saat itu. 

Pada awal tahun 2007, saya pindah ke Tokyo dan berhenti di semua proyek dengan industri bahan elektronika. Bersama beberapa dosen dari fakultas pertanian, saya ikut memprakarsai proyek “Partikulat & Tumbuhan” (ASEPH, 2008-2013) yang merupakan proyek dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi (MEXT). Proyek ini melibatkan sekitar 75 orang peneliti dengan kualifikasi doktor.

Saya mengalami tugas tersulit sebagai seorang insinyur, ketika harus merancang sistem untuk memaparkan partikulat (model polusi udara) ke daun tanaman. Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 22 bulan. Tanaman tumbuh dari 10 cm menjadi 200 cm. Daun yang heterogen dan sirkulasi udara dari AC menciptakan turbulensi yang mempersulit perhitungan perpindahan massa.

Selama proyek ini berlangsung, studi banding antara data tumbuhan yang ada di Jepang dengan data tumbuhan dari Thailand atau Indonesia kerap kali dilakukan. Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa disiplin ilmu teknik (teknologi partikel, fenomena transport) bisa menjadi media yang terbuka dan elegan dalam menjembatani pelaku teknologi di Jepang dan negara berkembang.

Dalam disiplin ilmu teknik, peneliti berperan sebagai tokoh utama. Dia bisa merancang suatu reaktor dengan aliran laminar dengan gradien suhu yang terkontrol untuk mendapatkan produk yang homogen. Namun setelah bekerjasama dengan fakultas pertanian, saya menyadari bahwa pelaku utama dari proyek ini adalah tumbuhan, bukan si peneliti. 

Proyek ASEPH mengajarkan tentang manajemen risiko sebelum merancang dan saat bereksperimen. Saya bisa membuat banyak mahasiswa teknik berpikir tentang pentingnya arti interdisipliner. Pendidikan mahasiswa dengan pendekatan interdisipliner dapat meningkatkan motivasi mereka dalam pemecahan masalah secara dramatis. Kerjasama ini menghasilkan banyak ide dan kiat rekayasa baru yang kemudian menjadi landasan grup riset saya.

Visi

Dunia saat ini sedang menghadapi era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Masalah sosial akibat globalisasi termasuk inovasi teknologi juga menjadi faktor pemicu VUCA. Generasi mendatang akan berada dalam ekosistem yang semakin sulit untuk diprediksi. Kemampuan untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan dalam situasi yang kompleks akan sangat dibutuhkan. “Kapan dan dimana sebaiknya pendidikan untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) tersebut dilakukan?”. Apabila telah disepakati jika tugas akhir (skripsi, tesis, disertasi) di lembaga pendidikan tinggi merupakan media terakhir untuk melatih SDM terkait pengetahuan berbasis teknologi, peran pembimbing dalam mengelola suatu grup riset serta bagaimana mahasiswa itu berproses menjadi suatu hal yang sangat penting.

Untuk mengembangkan SDM yang adaptif terhadap VUCA, perlu diciptakan lingkungan dimana individu dapat mengalami kegagalan dan mempraktikkan proses belajar dari kegagalan. Sayangnya, di beberapa negara, termasuk Jepang, evaluasi kuantitatif seringkali lebih dipentingkan. Pembimbing (kepala grup) sering kali tidak mampu untuk mengikuti proses pembelajaran dari kegagalan anak didik dan kemungkinan besar, pembimbing akan membawa mahasiswa menuju sukses jangka pendek dengan micromanagement. Mahasiswa cenderung takut gagal dan lebih memilih untuk bekerja keras sesuai arahan pembimbing. Kerja keras memang penting, tetapi jika mahasiswa puas dengan stabilitas jangka pendek dan ketenangan pikiran (zona nyaman) sebagai imbalan dari upaya yang sudah dilakukan, ada kemungkinan jika orientasi stabilitas ini akan menurunkan sensitivitas “sense of crisis” di masa depan. Selain itu, mempertimbangkan efek jangka panjang VUCA, penelitian interdisipliner serta “keanekaragaman” dalam organisasi (seperti grup riset) juga dirasa penting. Salah satu bentuk “keanekaragaman” dapat dicapai dengan memasukkan persentase tertentu dari staf atau mahasiswa asing. 

Jepang dan Jerman merupakan contoh baik metode pengelolaan bisnis yang diklasifikasikan sebagai “Konsensual + Hierarki” (Mapping Leadership Cultures, Erin Meyer, 2017) dengan sumbu “sikap terhadap otoritas” (dari Hierarki ke Egalitarian) dan sumbu “sikap terhadap pengambilan keputusan” (dari Top-down ke Konsensual). Contoh lainnya, Tiongkok dan Indonesia diklasifikasikan sebagai “Top-down + Hierarki”. Amerika Serikat dan Inggris diklasifikasikan sebagai “Top-Down + Egalitarian”. Belanda and Swedia diklasifikasikan sebagai “Konsensual + Egalitarian”. Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa perlu adanya keanekaragaman sebagai salah satu variabel cara berpikir atau budaya terutama di perguruan tinggi.

Tantangan global itu selalu kompleks, sehingga penempatan nilai yang berlebihan pada suatu persaingan akan membuat dunia ini menuju ke arah yang tidak tepat. Untuk kebaikan jangka panjang, siapa pemenangnya akan menjadi tidak berarti. Memahami dan peduli tentang sejarah satu sama lain adalah kunci untuk bekerjasama dengan negara lain. 

(Wuled Lenggoro, 30 Sept. 2020, Tokyo) 

**Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan Dr. Iqbal Djawad (Universitas Hasanuddin) dan Tiara Nur Pratiwi (Graduate student, Tokyo University of Agriculture & Technology) yang telah memberikan bantuan mengedit artikel ini.

Leave a comment